kumpulan corat-coretku, sederhana namun mengasyikan apapun yang aku tulis.

Kupeluk Engkau di Pangkuan Sang Singa





Aku mengalah. Itu yang aku simpulkan dari cara pandangku. Mungkin berbeda lagi jika kamu yang menyimpulkannya. Mungkin saja kamu akan menyimpulkan bahwa kamu yang mengalah, dan sudah berbesar hati untuk memaafkan dan aku sebagai biang keladi manusia yang tidak memiliki muka. Ya, mungkin kamu dapat memandangku seperti itu, aku tidak akan menyalahkanmu. Sekali lagi, aku tidak akan menyalahkanmu. Aku terkadang malah lebih suka melakukan hal ini, semakin aku merasakan semua yang kamu berikan, semakin banyak alasanku untuk membuktikan pada dunia, pada besok yang akan terjadi. Tapi bibirku selalu lumpuk untuk mengatakannya, mataku selalu buta untuk melihat kebenaran, telingaku selalu tuli untuk mendengar kebaikan, tanganku selalu tak dapat menggapai yang seharusnya mampu aku gapai. Semuanya bagai berlian yang berdebu, indah tetapi tertutup oleh kenistaan. Sungguh ironi, disaat api yang kamu kobarkan, tak dapat kamu halau.
Mataku berpijak pada sebuah titik yang membuatku meragu, yang mana seharusnya dapat aku tegaskan, selau hilang begitu saja dan tak layak untuk aku yakini, padahal seharusnya aku dapat menepis semua rayuanmu, rayuan kelam yang membuat ku jatuh dan lumpuh kedalam lubah hitam yang pada akhirnya membuatku tak berdaya. Aku seharusnya masih dan selalu mengingat kata ayah. Aku tidak akan melupakan perkataanmu itu ayah. Aku sekarang tahu, semua yang kau katakan baik untukku. Seorang ayah tidak akan menjerumuskkan anaknya sendiri. Aku sadar, aku harus bisa berpikir jernih ketika semuanya telah berakhir dan tidak pula membawa kesedihan yang aku alami, aku harus siap dan menghempasnya sejauh mungkin sampai aku tak mampu lagi untuk menjangkaunya. Agar jika nanti aku merindukannya, aku akan gagal merindukannya karena bayangannya saja tak ada dibenakku. Aku harus mampu mempersiapkan diriku ke pagar pemberhentianku dan membuat sketsa apa yang harusnya aku lakukan setelah hal itu terjadi. Ya, aku akan mendengarkan petuah ayah sampai telingaku tak mampu mendengar petuahnya. Menjadi yang terbaik bagi ayah, dan sellau membuatan senyum di wajahnya. Aku tidak ingin ayah kecewa kesekian kalinya. Aku ingin membuat ayah bangga. Oh iya, untuk kali ini, aku akan membuat hatiku iklas, lahir batin merelakannya, mungkin dia bukan yang terbaik, bukan pula yang pantas untukku.
Mungkin digerbang sana, seseorang telah menungguku dengan rasa lelahnya dan bercucuran keringat diwajahnya. Aku tidak akan menerinyanya secepat yang kau pikirkan, tetapi setelah aku bisa menghidupkan semua mimpiku. Aku akan tersenyum untuknya, mencintainya setulus hatiku, dan berharap dia menjadi yang terakhir, aku akan menyatukan tangannya dengan tangan seorang lelaki yang paling aku cintai, yakni ayah! Aku akan membuatnya seperti berlian yang selalu ku usap, karena aku yakin, dia juaga akan menjagaku dengan sekuat tenaga, bukan menyia-nyaiakanku seperti saat ini. Aku selalu berdoa kepada Tuhan, semoga saja Tuhan memberikan kemudahan dikehidupanmu dan mendapat orang yang lebih layak ketimbang aku. Mendapat orang yang dapat menjagamu dan mengikhalskan semua perbuatan yang menyakitinya. Aku tidak akan pernah membawa doa buruk untukmu, aku selalu menyayangimu, tapi untuk sekarang, aku tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi besok, lusa, maupun yang akan datang. Mari kita berdoa saja untuk kebaikan kita berdua, semoga kita diberi petunjuk dan kelancaran hidup oleh yang maha esa.
Read More

Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin

Layaknya sebuah melodrama dihiasi tangis tersedu sedu oleh para pemerannya saja. Cukup lucu dan kaku untuk dilihat. 9 November 2013, tepat pukul sore hari. Aku menerima pesan singkat yang cukup menggiurkan dan membuatku terpana. Ia mengungkapkan jika ia mengulangi hal itu lagi. Awalnya aku memang tidak bisa menerima itu semua, aku sudah berkomitmen untuk tidak bisa menerima hal itu lagi. Tapi sifatnya malah membujur kaku kepadaku, api mulai berkobar didalam raganya.
Aku tahu, aku tidak mungkin semakin membakarnya dengan bensin.

Aku harus mengalah dengan caraku, aku harus menyiramnya dengan tetesan air. Aku mungkin yang harus menerima apiku yang aku peluk dengan tetesan air, yang nanti akan kubasuh dengan kasih sayang airku, yang akan ku kecup dengan belaian airku, yang akan ku genggam denang kemurnian cinta yang tumbuh seiring berjalannnya waktu. Aku yakin aku bisa menjaganya, aku bisa membuatnya berubah meskipun hanya pelan pelan. Tapi aku ragu. Ragu jika tidak bisa membuatmu lengah, ragu jika tidak bisa membalas dan mengerti yang telah aku berikan, ragu jika apimu berkobar lagi dan mencengkeramku secara erat dan membuat airku teriris dan berhenti menetes. Aku takut ketika airku tak mau keluar lagi karena ia marah. Marah akan sikapmu yang terlalu kasar. Aku takut airku memberontak dan tidak bisa lagi menerima keadaanmu.

Aku bingung harus sepertin apa memperlakukan kamu sebagai orang yang sesungguhnya dapat meneduhkan hati, melingungi batinku, dan menjaga jiwaku. Tapi aku harus tetap mengerti anganmu, aku tidak akan pernah membeci sikap dan caramu memerlakukan dirimu sendiri. Karena daun yang jatuh tak akan membenci angin. Aku tak akan membenci karena kamu membuatku jatuh cinta, aku tak akan pernah membenci karena kamu memtikku ku dari persinggahanku, aku tak akan membenci karena kamu bergerak terlalu cepat Aku tak akan pernah dan tak akan pernah bisa membencimu. Meskipun pada akhirnya kau yang akan menghujamku dengan semuanya.



Read More

Raungan Setelungkup Mawar Layu

Ini apa? Selalu hal ini terjadi lagi dan lagi. Mengapa? Aku lelah dengan semua ini. Kadang akupun juga merasa tak sanggup menjalaninya kembali. Aku mungkin bisa memilih untuk berhenti dan menutup rapat - rapat semua tentangmu, tentangmu yang abstrak ini. Terkadang hal tentangmu membuatku menyunggingkan dan menarik lebar bibirku tetapi ternyata hal tersebut tidak dapat selamanya tetancap secara permanen di keadaan kita ini. Ternyata ada saatnya pula kuharus membengkokkan bentuk bibirku kearah dalam tanda aku muak dengan semuanya. Mungkin kamu bisa berpikir bahwa aku hanya seorang gadis dengan raut wajah manjanya yang tidak berpikir dewasa sama sekali. Tapi apakah kau tahu bahwa tidak selamanya kau benar? Tidak selamanya yang kau pikirkan ini benar dan sama denganku? Kita ini hanyalah dua makluk tuhan yang memiliki pemikiran dan perasaan yang berbeda beda. Harus maklum jika kita bertemu dengan keadaan yang memaksa kita untuk harus mengerti satu sama lain. Ya, hari ini. Kejadian itu terjadi lagi. Kepalaku seperti pecah rasanya. Seperti mengucur darah segar melewati tiap lubang yang ada ditubuhku. Berlebihan? Tidak, mungkin kalian yang menilai berlebihan belum merasakannya berada dititik ini. Ingin rasanya memberontak, mengeluarkan semuanya, tapi aku masih menghargai posisinya. Aku mungkin masih bisa berpikiran yakin bahwa ia yang terbaik untukku. Aku masih berharap seperti itu, karena aku berfikir ini hanyalah fase biasa yang memang seharusnya ada dan dijalani. Aku harus berusaha mempertahakannya dan meyakini tidak ada orang lain yang bisa menggantikannya didalam lubuk yang berada disana. Tapi aku masih selalu mengingat ketika amarah itu meluap-luap. Sangat gersang dan aku hampir tak sanggup untuk menggenggamnya. Dia terasa semakin menjauh dariku, telihat tidak jelas, berubah, dan bukan seperti sebelumnya.
Read More
Diberdayakan oleh Blogger.

© dara hermalita n♔, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena